Banner atas

Kamis, 10 September 2015

RAPBN 2016: Subsidi Terus Dikurangi, Utang Makin Ditumpuk

[Al-Islam edisi 770, 20 Dzulqa’dah 1436 H – 4 September 2015 M]
Pemerintahan Jokowi-JK telah mengajukan RAPBN 2016 kepada DPR. RAPBN itu menggambarkan bagaimana kondisi perekonomian dan keuangan negeri ini tahun depan. RAPBN juga menggambarkan apa yang akan diterima dan dihadapi oleh rakyat tahun depan. Pada sisi penerimaan, RAPBN 2016 menggambarkan beban pembayaran rakyat makin besar, sementara pada sisi belanja beban rakyat juga makin berat.

Subsidi Terus Dikurangi
Sebagaimana diketahui, setiap tahun subsidi untuk rakyat dalam APBN terus dikurangi. Pada APBNP 2015 anggaran subsidi turun drastis sebesar 60%, dari Rp 341,81 triliun pada tahun 2014 menjadi hanya Rp 137,82 triliun pada tahun 2015, atau turun Rp 203,99 triliun! Penurunan itu terutama karena subsidi untuk premium dihapuskan. Akibatnya, harga premium ditetapkan mengikuti harga minyak dunia sejak Maret 2015. Sebelumnya, pada Oktober 2014, dengan alasan saat itu harga minyak dunia naik, Pemerintah Jokowi menaikkan harga BBM di dalam negeri. Kenaikan harga BBM itu menyebabkan daya beli masyarakat anjlok hingga saat ini. Namun, Pemerintah tak konsisten. Giliran harga minyak dunia anjlok drastis hingga kisaran US$ 40-an perbarel saat ini, nyatanya Pemerintah tak menurunkan harga BBM. Menteri ESDM beralasan, meski harga minyak dunia turun saat ini, harga BBM di dalam negeri tak diturunkan karena Pertamina masih merugi.
Pada RAPBN 2016 anggaran subsidi untuk rakyat kembali dikurangi. Di antara yang dipangkas adalah subsidi listrik; dipangkas Rp 23,15 triliun, dari Rp 73,15 triliun di APBNP 2015 menjadi hanya Rp 50 triliun di RAPBN 2016. Akibatnya, tahun 2016 subsidi untuk pelanggan 900 KWh akan dihilangkan. Itu artinya, tarif listrik untuk pelanggan 900 KWh tahun depan dipastikan bakal naik. Lagi-lagi beban rakyat dipastikan makin bertambah.
Untuk subsidi non-energi, subsidi pangan (raskin) RPABN 2016 memang naik Rp 2,05 triliun, yakni menjadi Rp 20,99 triliun dari sebelumnya Rp 18,94 triliun di APBNP 2015. Namun, subsidi pupuk dipangkas Rp 9,4 triliun, yakni dari Rp 39,9 triliun di APBN 2015 menjadi Rp 30 triliun di RAPBN 2016. Itu artinya, para petani justru akan mendapat beban lebih besar akibat harga pupuk naik.

Rabu, 12 Oktober 2011

NEGARA KALAH MENGHADAPI FREEPORT !!!


Upaya Pemerintah Indonesia untuk mengubah isi kontrak karya dengan dua perusahaan tambang raksasa, PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Newmont Nusa Tenggara, hampir menemui jalan buntu. Kedua perusahaan raksasa asal Amerika Serikat itu menolak mentah-mentah empat poin klausul yang dianggap merugikan pemerintah Indonesia terkait luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, dan kewajiban pengolahan dan pemurnian (Indopos, 6 Oktober 2011).
Pemerintah ingin menaikkan royalti agar sesuai ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti emas 3,75 persen, tembaga 4 persen, dan perak 3,25 persen. Saat ini, royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1 %, untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %.
Selama ini negara mendapat bagian yang sangat kecil dibandingkan dengan yang diperoleh PT Freeport. Tercatat, dari tahun 2005 - September 2010, total penjualan PTFI sebesar US$ 28.816 juta atau Rp 259,34 triliun; laba kotornya US$ 16.607 juta atau Rp 150,033 triliun. Bandingkan dengan royalti yang dibayarkan kepada Indonesia hanya sebesar US$ 732 juta atau Rp 6,588 triliun (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/11/04/data-dan-fakta-kontrak-freeport).
Jika dihitung dari tahun 1992 (setelah KK II) kontribusi PTFI mencapai US$ 10,4 milyar (royalti sebesar US$ 1,1 milyar dan dividen sebesar US$ 1 milyar). Artinya, total dividen dan royalti mencapai sekitar Rp 18 triliun (selama 18 tahun). Dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2009, pemerintah -sebagai pemegang 9,36 % saham PTFI- mendapat deviden dari PTFI sebesar Rp 2 triliun. Itu artinya pada tahun 2009 itu Freeport McMoran sebagai pemegang 90,64% saham PTFI mendapat deviden sekitar Rp 20 Triliun. Sementara, potensi yang masih ada di tambang Freeport sendiri masih lebih dari Rp 600 triliun.
Uang ratusan trilyun itu, seandainya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya yang sejati dan dikelola negara dengan baik, tentu akan bisa menyelesaikan banyak persoalan rakyat. Dengan uang itu berapa juta anak putus sekolah bisa sekolah kembali? Berapa juta rakyat kelaparan bisa mendapat makanan yang layak? Berapa juta rakyat yang tidak bisa berobat karena biaya yang mahal akan bisa mendapat pelayanan kesehatan yang baik?
Namun, potensi itu hilang begitu saja karena diserahkan kepada asing. Sangat tepat pernyataan yang mengatakan kekayaan alam kita sebenarnya lebih dari cukup untuk menyejahterakan rakyat, tapi negara yang salah urus telah membuat rakyat kita miskin. Kekayaan alam kita sebenarnya cukup untuk rakyat, tapi tidak akan pernah cukup bagi penguasa dan pengusaha yang rakus dan tamak!

Sabtu, 01 Oktober 2011

Bom Solo, Siapa Diuntungkan?

Aksi bom bunuh diri terjadi pada tanggal 25/9 di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo. Insiden ini hanya menewaskan pelakunya sendiri dan melukai 27 orang. Pada Selasa, 27/9 bahwa dari identifikasi, Mabes Polri memastikan pelaku pemboman tersebut bernama Ahmad Yosepa alias Hayat. Hayat adalah satu dari lima orang DPO kasus pengeboman masjid adz-Dzikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, seperti yang telah diumumkan oleh Polri pada pertengahan Juni lalu.
Peristiwa ini terjadi saat terjadi banyak masalah yang menghebohkan negeri ini. Misalnya, masalah korupsi di kemenakertrans, korupsi wisma atlet , hiruk pikuk reshuffle kabinet, dan mafia anggaran. Saat ini , berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia pada bulan September, juga terjadi penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah hingga tinggal 37,7%. Semua itu pada akhirnya memunculkan kecurigaan dan tanda tanya seputar peristiwa bom GBIS Solo ini. Berbagai spekulasi pun muncul . Muncul kecurigaan peristiwa ini sudah diskenariokan sebelumnya atau paling tidak terjadi pembiaran.
Hal ini mengingat jauh hari sebelumnya sudah ada informasi intelijen akan terjadi serangan bom. Pengamat intelijen Wawan H Purwanto mengatakan intelijen sebetulnya telah mengetahui gerakan para teroris sejak 14 Agustus 2011 sebelum aksi bom bunuh diri terjadi (antaranews, 26/9). Hal senada dikatakan Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq di kompleks DPR, Selasa (27/9) menurutnya telah ada informasi intelijen akan adanya aksi-aksi bom bunuh diri dari enam orang yang sudah dipersiapkan sebelum kasus Cirebon. Bahkan, warning terhadap kasus Solo sudah dilakukan. Per tanggal 21 September itu sudah ada informasi intelijen, yang akan menjadikan Solo sebagai Ambon berikutnya" (Kompas.com, 27/9).

Blog melanjutkankehidupan-islam.blogspot.com akan kembali terbit

Minggu, 23 Januari 2011

PEMERINTAH MENGABAIKAN RAKYAT, MEMANJAKAN PEJABAT

Pemerintah selama ini sering mengklaim bahwa APBN disusun untuk menciptakan sebanyak mungkin lapangan pekerjaan, mengentaskan kemiskinan, menciptakan pertumbuhan yang tinggi dan mendukung kelestarian lingkungan.
Namun nyatanya, besaran APBN justru lebih untuk kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah. Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, ditemukan data bahwa anggaran 'pelesiran' Pemerintah pada 2011 membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam realisasi APBN 2011.
Menurut FITRA, Pemerintah terkesan hendak menyembunyikan hal itu. ''Belanja perjalanan yang biasanya diuraikan pada nomenklatur belanja barang, pada dokumen Data Pokok APBN 2011 tidak lagi dicantumkan. Rupanya, untuk menghindari kritik masyarakat atas membengkaknya belanja perjalanan, Pemerintah justru menutupi belanja perjalanan ini,'' tegas Sekjen FITRA, Yuna Farhan.
Menurut Yuna, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam APBN 2009, misalnya, alokasi belanja perjalanan 'hanya' Rp 2,9 triliun. Namun, dalam APBN-P 2009 melonjak menjadi Rp 12,7 triliun, bahkan dalam realisasinya membengkak menjadi Rp 15,2 triliun. Lalu dalam APBN 2010, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, kemudian membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).
Membengkaknya anggaran belanja perjalanan di APBN 2011 ini bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemeritah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011. Selama ini para anggota DPR memperlihatkan salah satu hobi mereka: pelesiran, meski dengan judul "studi banding", dengan dana miliaran rupiah.
Sebagaimana diketahui, belanja perjalanan selama ini menjadi lahan subur penghasilan baru pejabat. Berdasarkan hasil audit BPK pada Semester I 2010, belanja perjalanan adalah belanja yang paling banyak mengalami penyimpangan. Setidaknya ditemukan penyimpangan anggaran perjalanan dinas di 35 kementerian/lembaga senilai Rp 73,5 miliar. Angka penyimpangan sebenarnya diyakini jauh lebih besar dari angka itu mengingat audit yang dilakukan oleh BPK beluk secara menyeluruh dan detil. Selain biaya perjalanan, pada tahun ini juga ada rencana pembelian mobil dinas dengan total mencapai Rp 32,572 miliar, selain biaya perawatan gedung yang mencapai Rp 6,1 triliun.
Di sisi lain, DPR telah memutuskan tetap membangun gedung baru. Gedung baru itu akan dibangun 36 lantai dengan luas sekitar 161.000 meter persegi dengan biaya Rp 1,3 triliun.

Rabu, 12 Januari 2011

DEMOKRASI MELAHIRKAN BANYAK PEJABAT 'KRIMINAL'

“Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih, dan tahu malu.” Demikian kutipan dari editorial sebuah media harian nasional (MI, 20/1/2011). Ini adalah sebuah ungkapan jujur tentang demokrasi. Sekalipun bukan hal baru, ungkapan tersebut mengingatkan kembali umat Islam tentang hakikat dan fakta dari sistem demokrasi yang diadopsi oleh negeri ini.
Dalam berbagai forum, Indonesia mendapat pujian sebagai negara demokratis. Namun, apakah dengan status demokratisnya negeri ini telah mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah? Apakah demokrasi bisa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya?
Tentu, kita merasa miris kalau melihat fakta aktual: sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. Kebanyakan tersangkut kasus korupsi. Bahkan sebagian dari pemenang Pilkada 2010 berstatus tersangka dan meringkuk di penjara. Contoh nyata, Jefferson Soleiman Montesqiu Rumajar terpilih menjadi Walikota Tomohon-Sulut periode 2010-2015 dan dilantik oleh Gubernur Sulawesi Utara, Sinyo Harry Sarundajang, pada rapat paripurna istimewa DPRD Tomohon, di Jakarta, Jumat (7/1). Padahal Jefferson sedang duduk di kursi pesakitan; ia dijadikan tersangka oleh KPK karena tindak pidana Korupsi. Yang lebih menggelikan, Jeferson lalu dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat Kota Tomohon di LP Cipinang. Baik yang melantik dan yang dilantik seolah sudah putus urat nadi rasa malunya. Jajaran pejabat yang akan mengurus rakyat dilantik oleh seorang terdakwa yang tersandung kasus ketika mengelola uang rakyat.
Jadi, rasanya omong-kosong kita berharap bahwa sistem demokrasi bisa melahirkan para pemimpin yang amanah. Begitu juga terkait kesejahteraan. Pasalnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi orang-orang dan kelompok oportunis untuk mentransaksikan kepentingan-kepentingan perut dan nafsunya.

Kado Pemerintah untuk Rakyat di Tahun Baru 2011: KENAIKAN HARGA BBM LEWAT PEMBATASAN SUBSIDI


Rencananya, mulai Maret 2011 Pemerintah akan mengurangi subsidi BBM dengan melarang mobil pribadi berplat hitam menggunakan BBM bersubsidi. Pembatasan tersebut akan dilakukan secara bertahap, mulai di Jabodetabek hingga mencakup seluruh Indonesia pada 2013.
Belum tampak penolakan masyarakat, padahal kebijakan pembatasan subsidi BBM juga berdampak sama dengan kenaikan harga BBM. Setidaknya, ada enam alasan untuk menolak kebijakan itu.
Pertama: Indonesia memiliki cadangan migas yang sangat besar. Tapi, sebagian besar justru dikuasai pihak asing. Data KemESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Ketika kontrak habis, pemerintah melalui BP Migas malah memperpanjang kontrak itu ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina. Di sisi lain, dalam UU Migas 22/2001, Pertamina diperlakukan sama dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan konsesi pengelolaan ladang migas. Kebijakan ini berkebalikan dengan negara lain seperti Malaysia yang memberikan wewenang sangat besar kepada Petronas sehingga mampu menggeser dominasi swasta. Di Cina dan sejumlah negara Amerika Latin sektor energi sepenuhnya dikuasai oleh negara. Sehingga produksi dan harga di pasar domestik bisa dikendalikan.
Kedua: Bahwa subsidi BBM yang selama ini dianggap membebani APBN dan sering salah sasaran merupakan pernyataan ’menyesatkan’. Menurut Pemerintah, subsidi BBM adalah selisih harga patokan dikurangi harga eceran yang dijual Pertamina. Pada Perpres 71/2005 disebutkan bahwa Harga Patokan adalah harga yang dihitung setiap bulan berdasarkan MOPS rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah biaya distribusi dan margin. MOPS atau Mid Oil Platt’s Singapore adalah harga transaksi jual-beli pada bursa minyak di Singapura.
Subsidi tersebut dibayarkan Pemerintah kepada Pertamina yang telah menjual BBM dengan harga eceran yang telah ditetapkan Pemerintah yang lebih rendah dari harga patokan (internasional). Pertanyaannya: apakah Pertamina betul-betul rugi karena menjual BBM di bawah harga patokan? Jika biaya produksi dan distribusi lebih rendah dari harga patokan maka Pertamina tentu rugi. Namun, jika lebih tinggi maka Pertamina tetap untung.
Lalu berapa biaya produksi BBM Pertamina untuk Premium dan Pertamax? Karena tidak tersedia data dari Pertamina maka untuk menghitungnya bisa digunakan data persentase komponen harga rata-rata bensin (gasoline RON 95) di USA yang sebanding dengan kualitas Pertamax. Harga Bensin = Minyak Mentah (51%) + biaya pengilangan & keuntungan (15%) + biaya distribusi & pemasaran (12%) + pajak (22%) (http://tonto.eia.doe.gov). Harga minyak mentah Pertamina diperoleh dari biaya produksi, cost recovery (US$ 940,7 juta) dibagi total lifting minyak mentah 2007 sebesar 38,9 juta barel (BPK, Perhitungan Kewajiban Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kkks)). Hasilnya: US$ 24,2/barel atau US$ 0,15/liter atau Rp 1.368 jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.000. Harga ini sebenarnya cukup mahal karena cost recovery Pertamina jauh lebih tinggi daripada rata-rata cost recovery perusahaan minyak Indonesia yang berkisar US$ 13,82/barel pada 2007 (http://www.scribd.com/doc/38206301/Crude-Oil-Cost-Production).

Dengan rumus di atas, harga Pertamax semestinya hanya Rp 2.683/liter. Premium dengan oktan yang lebih rendah tentu lebih murah. Lalu mengapa harga jual Premium dan Pertamax lebih mahal? Ini karena harga minyak mentah diperhitungkan menggunakan harga minyak di pasar internasional meski sebagian besar diproduksi oleh Pertamina sendiri. Dengan demikian, apa yang dianggap kerugian Pertamina yang kemudian diganti oleh Pemerintah bukanlah merupakan kerugian nyata, namun hanya potential loss (hilangnya potensi laba) karena dijual tidak dengan harga internasional. Jika demikian maka dana subsidi Pemerintah sesungguhnya hanya keluar dari kantong kanan dan masuk lagi ke kantong kiri melalui laba yang diperoleh Pertamina.
Ketiga: Pembatasan BBM bersubsidi dalam jangka panjang akan menguntungkan SPBU Perusahaan Minyak Asing, seperti Total, Shell, dan Petronas. Selama ini SPBU-SPBU tersebut mengalami kerugian karena konsumen lebih memilih Premium yang lebih murah, yang dijual oleh SPBU Pertamina. Dengan adanya pembatasan subsidi BBM, maka seluruh pengguna mobil pribadi dipaksa menggunakan bahan bakar yang kadar oktannya lebih tinggi seperti Pertamax atau yang diproduksi oleh SPBU asing. Dengan harga yang lebih murah karena biaya produksi yang lebih efisien dan kualitas yang mungkin lebih baik sangat mungkin konsumen akan memilih produk SPBU asing ketimbang Pertamina. Jika tidak ada inovasi maka kegiatan Pertamina di sektor hilir dipastikan akan makin menurun. Hal ini tentu akan merugikan Pertamina. Sudahlah di sektor hulu tergerus, di sektor hilir pun tersingkir.
Keempat: Kegiatan usaha Pertamina belum berjalan secara efisien khususnya dalam produksi dan pengadaan minyak mentah. Menurut temuan BPK tahun 2008 (BPK, Pengadaan Minyak Mentah dan Produk Kilang Tahun 2007 dan 2008 (Semester I) pada Pertamina), disebutkan sumber ketidakefisienan Pertamina antara lain: (a) Dalam pengadaan minyak mentah dan BBM, Pertamina cenderung mengimpornya melalui jasa rekanan yang sarat dengan manipulasi sehingga menjadi mahal. (b) Pertamina lebih banyak menggunakan kapal sewa daripada kapal milik sendiri sehingga biaya angkut lebih mahal. (Pertamina, Annual Report 2007). (c) Dalam jumlah tertentu, Pertamina lebih memilih untuk mengimpor daripada menggunakan produksi dalam negeri yang tidak membutuhkan biaya pengapalan. (d) Pertamina mengimpor BBM karena keterbatasan kapasitas kilang yang hanya sebesar 1 juta barel perhari, hanya memenuhi 63% kebutuhan dalam negeri. Padahal dengan memproduksi sendiri biayanya akan lebih murah sehingga harga minyak yang dijual akan lebih rendah.
Kelima: Pembatasan subsidi BBM merupakan langkah bertahap Pemerintah untuk menghapus subsidi BBM. Dan ini akan menekan daya beli masyarakat khususnya masyarakat miskin. Pembatasan subsidi BBM yang diikuti dengan pemaksaan mobil plat hitam untuk mengkonsumsi Pertamax dipastikan akan makin membebani rakyat. Harga Pertamax mengikuti harga pasar internasional (seperti sekarang dengan harga minyak internasional di atas 90 USD/barel, harga Pertamax di atas Rp 7000). Padahal harga tersebut banyak dipengaruhi oleh kegiatan spekulasi. Membiarkan harga tidak terkendali akan membuat pengeluaran rakyat untuk BBM membengkak. Padahal tidak semua mobil plat hitam digunakan untuk transportasi pribadi. Sebagian besar angkutan barang termasuk bahan makanan saat ini masih menggunakan plat hitam. Maka, penggunaan BBM non subsidi secara pasti membuat harga barang ikut naik. Jika hal itu terjadi maka kehidupan masyarakat akan semakin sengsara akibat makin mahalnya biaya hidup.
Keenam: Pembatasan BBM dan kebijakan memberikan peran lebih besar kepada pihak asing dalam pengelolaan migas merugikan rakyat, dan ini bertentangan syariah Islam. Migas dan sumber daya alam lain yang melimpah dalam pandangan Islam merupakan milik rakyat yang harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Pengelolaan SDA dengan lebih banyak menyerahkan kepada pihak swasta adalah kebijakan yang sangat kapitalistik. Kapitalisme adalah sistem batil, dan karenanya harus diganti dengan sistem Islam dalam Khilafah. Khilafah akan menerapkan seluruh syariah Islam dalam kehidupan bernegara, termasuk dalam pengelolaan migas. Dalam Khilafah, kepala negara (Khalifah) bertanggung jawab mengurus segala urusan rakyatnya. Pihak swasta boleh berperan, tapi dalam sektor yang tidak menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Maka, kerahmatan akan dirasakan seluruh rakyat.
الإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) yang memimpin manusia adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam bi ash-shawab. []


Komentar al-islam:
RI: Serangan Alexandria (Mesir) Bukti Terorisme Masih Mengancam (Antara, 4/1/2011).

Mengapa tidak berani menyatakan bahwa Amerika Serikat dan Israel adalah teroris negara, yang tidak hanya mengancam, tetapi terus menebar teror dengan banyak membunuh kaum Muslim di Irak, Afganistan, Palestina dsb. Inilah kedustaan atas nama terorisme sekaligus menunjukkan sikap paranoid para penguasa Muslim.